salam…semoga semua dalam keadaan sehat,
dengan tubuh yang sehat tentunya pikiran menjadi sehat dan lebih kreatif.
Pagi ini, senin (I love Monday) 31 Agustus
2015 mengakhiri bulan semangat kemerdekaan dan tetap semangat untuk hari-hari
yang lebih menyenangkan. Dalam tulisan “Brand Sebelum Branding” banyak hal
kekurangan dan apabila ada yang ingin menambahkan, silahkan memperbaharuinya.
Dengan metode share dan saling melengkapi semoga dapat berguna bagi yang
membutuhkan.
Kali ini mengulas mengenai kelanjutan dari
tulisan “Brand Sebelum Branding”, jadi saya beri judul “Brand Sebelum Branding
#2”. Tulisan ini bukan hasil penelitian, namun pengamatan sehari-hari yang
diramu dalam obrolan-obrolan dengan pemilik usaha-usaha yang sudah dan yang
baru mengawali karir. Bahasa yang tidak terlalu formal, mungkin sedikit
menyulitkan memahaminya dan pembaca bisa berdiskusi dalam kolom coment.
Brand yang diibaratkan seperti pohon dan
pemilik brand diibaratkan seperti petani yang merawat pohon itu. Jadi begini, pohon
dipakai karena jenisnya dan kegunaannya yang berbeda-beda dan banyak sekali.
Ada yang berbunga indah dan harum, berbuah manis lebat, berbatang kuat, berumbi
dan berakar mujarab. Contoh: pohon mangga ditanam karena buahnya yang
dinikmati, pohon jati ditanam karena kayunya yang kuat, ketela dengan umbi yang
gurih, ginseng memiliki akar yang berkhasiat, dll.
Jadi begitu juga dalam merencanakan brand,
visi dan misi dari badan, produk dan sebagainya harus memiliki mimpi dengan
tujuan yang jelas, sehingga dapat merencanakan bagaimana mewujudkan mimpi dan
tujuan dari brand tersebut. Dalam proses perancangan brand pada umumnya
terdapat 2 elemen yang harus bersinergi, yaitu: elemen yang dapat dilihat kasat
mata (visual) dan elemen yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata (konsep,
strategi yang menjadi roh/jiwa).
Pada brand yang terlihat manis secara kasat
mata, akan memberikan dampak yang baik kedepannya dengan memberikan kejujuran
rasa manis pada produk. Begitu juga sebaliknya, ini yang sering menjadi
pekerjaan rumah para desainer pemula (termasuk saya). Sejatinya bagus itu belum
cukup, namun harus integrated dalam segala aspek.
Seperti halnya mangga yang mampu membranding
diri menjadi mangga yang disukai banyak orang, yaitu mangga Manalagi. Rasa dan
penampilannya dapat bekerja dengan baik, sehingga dampak yang diberikan kepada
pemiliknya sangat memuaskan. Mangga Manalagi memiliki ukuran yang besar,
bersih, warna bagus, beraroma, dan manis. Ini salah satu brand yang berhasil
dengan sempurna disepanjang zaman.
Tetapi harus dilihat juga dari letak
geografis dan psikologis dimana brand itu mau dibesarkan. Kadang salah paham
sering terjadi, seperti contoh: petani buah yang memiliki tujuan untuk
mendapatkan hasil kayu yang baik. Bisa saja berhasil, namun terkadang salah paham
pengetahuan menyebabkan kegagalan karena pengalaman yang berbeda. Biasanya
memanen buah, tapi punya mimpi memanen kayu. Hal ini yang sering menyebabkan
brand itu kehilangan jatidiri. Ketika jatidiri brand yang tidak jelas mau
kemana, maka untuk tampil dengan visual yang memukau menjadi rancu. Menjadi
lemah dan menyebabkan ketidakjujuran brand.
Trus…bagaimana menjadi brand yang jujur?
Ini menjadi pekerjaan rumah buat yang baru
memulai membangun brand (termasuk saya). Pengetahuan dasarnya bisa saja sama,
namun saya yakin masing2 pemilik brand punya ramuan yang mujarab. Karena, beda
produk beda konsumen, beda waktu, beda juga cara penyampaiannya.